Nenek Setengah Telanjang di Altar Depan Keraton

Salam Indonesia
Kadang-kadang kita terbangun dari mimpi. Kadang-kadang kita bangun dalam mimpi. Dan kadang-kadang, sesekali, kita bangun di mimpi orang lain.
di sedikit waktu yang sempit ini ada sedikit hal yang terbersit untuk di tuliskan di lapak saya yang kecil dalam Rumah Sehat Kompasiana. ada banyak kejadian menarik hari ini untuk di tulis, seperti kenapa saya harus begitu rajinnya datang tepat waktu, atau mengomentari seorang pengamen di titik nol jogja tepat di depan Istana yang mengamen dengan menjerit plus sumpah serapah. atau mungkin bagaimana menceritakan seorang pria yang menempuh perjalanan jauh dari magelang dan seorang ibu yang menempuh perjalanan lebih jauh pula untuk bertemu para kompasianer jogja di kraton.
bahkan mungkin menuliskan apa hasil dari pertemuan sederhana di bawah pohon rindang dalam kompleks kraton, yang membicarakan agenda selanjutnya dari canting untuk mengadakan kegiatan sosial ke beberapa rumah belajar dan singgah anak-anak tentu bisa lumayan informatif.
tapi entah kenapa ketika tangan berada di atas keyboard tiba-tiba, bayangan seorang wanta tua tanpa bawahan alias hanya mengenakan baju atasan ga pake rok atau celana yang duduk di ALTAR (alun-alun utara) jogja persis di depan gerbang kraton sungguh menggelitik untuk dituliskan. siapa nenek tua itu, dimanakah anak dan sodaranya, kenapa bisa sampai ada di situ, dan ribuan pertanyaan menggelitik nurani saya.
hari ini sebenarnya akan membicarakan kegiatan tentang agenda para kompasianer jogja untuk melakukan kunjungan dan bantuan secukupnya (tidak hanya berupa materi) di beberapa rumah sianggah dan rumah bermain anak dari kota hingga pelosok pinggir desa. setelah beberapa berkumpul di titik nol jogja, sambil menunggu yang lain, saya, mba lina sof, mba mesha dan mba gendis, berjalan-jalan untuk bertemu kawan yang sudah menunggu di kraton. setelah mampir sebentar di angkringan (maklum ibu-ibu sudah pada kelaparan) perjalanan di lanjutkan. memasuki altar, sungguh membuat saya berkerut kening, ya… alun-alun utara tidak lebih sebauh parkiran dan kumpulan pedagang, persis pasar, dan sepertinya altar sudah kehilangan keagunggannya di mata saya.
perjalanan setapak demi setapak di lanjutkan hingga mendekati dua bringin di tengah alun-alun entah kenapa kedua bringin itu memiliki ketinggian dan kerimbunan yang berbeda. tapi ada yang lebih menarik perhatian saya di situ, yaitu seorang nenekyang sedang bersandar di tembok pagar yang mengelilingin bringin. persis di bringin sebelah timur yang lebih rindang. dengan alas koran yang sudah mulai kusam nenek itu menjulurkan kakinya lurus, wajahnya begitu hampa dan polos, dia tidak menengadahkan tangan seperti pengemis, kedua tangannya memegang sikut kaki. rambutnya yang setengah putih tampak kaku. matanya terpejam. mulutnya sedikit terbuka, saya pikir dia tengah terlelap tidur di tengah bisingnya deru mesin kendaraan dan hingar bingar tawa di tengah pusat jogja. satu dua jepretan kamera sempat saya arahkan ke nenek itu. (mungkin filnya masih ada di kamdig mba lina sof)
perjalanan berlalu begitu saja, entah kenapa kemudian bayanga nenek itu berlalu begitu saja seperti hembusan angin yang menerbangkan debu. seiring pendengar setia pembicaraan para ibu dan calon ibu penghuni kompasiana. bahkan nenek itu sudah mulai hilang dari ingatan ketika bertemu dengan kompasianer lain di kraton. mungkin mas muhayat juga sudah lama menunggu. pembicaraan ke topik soal waktu hingga berbagai macam hal yang mungkin bisa kompasianer jogja dan sekitarnya sumbangkan untuk beberapa anak-anak yang kurang beruntung di belantara negeri.
jam mulai menunjukan pukul dua siang waktu kraton jogja, karena belum sholat dzuhur, akhirnya pembicaraan terhenti. dan beberapa kaputusan kecil dan sederhaan (semoga bermakna besar) diambil di tengah riuh tawa penuh keakraban dan persahabatn. biar lebih afdol, mungkin teman-teman yang lebih faham bisa menjelaskan lebih lanjut (bukan ranah saya, takut salah ucap).
di tengah perjalanan pulang kembali, nenek itu masih ada di tengah altar, tapi kini sudah berganti posisi, dia berada di sebelah selatan bringin yang sebelah timur, di atas rumput hijau yang telah bercampur dengan coklatnya tanah.tepat di samping trotoar. kali ini matanya terbuka walau dalam posis yang hampir sama dengan pertemuan pertama tadi, tetap setengah telajang tanpa bawahan. tapi ada yang berbeda kali ini kami saling bertatapan mata, matanya seperti memberi ribuan pertanyaan, dan jika di rangkum dalam satu pertanyaan, “kenapa aku yang seorang nenek tua harus duduk dalam kondisi seperti ini dan kau berjalan dengan jumawa seolah-olah kau tidak ikut terlibat dalam kondisiku ?”.
saya tidak akan menyalahkan siapapun, mungkin anak atau sodara nenek itu, penguasa kraton yang menjulang megah di di depan nenek itu atau bahkan pemerintah yang menguasai negeri ini. apa yang terjadi pada nenek itu mau tidak mau adalah bagian dari kesalahan kita, bagian dari kesalahan dan dosa struktural dalam sosial masyarakat. saya, anda atau bahkan kita semua berberan dalam kondisi masyarakat yang tercipta. dan anda, saya, kita semua termasuk nenek itu adalah bagian dari sistem dan keadaan sosial masyarakat yang saling bertautan. diasadari atau tidak diakui atau tidak. kita semua berperan atas baik dan buruknya lingkungan kita walau hanya sebutir debu.
mata nenek itu seolah menghentaku, tatapannya menembus langsung menghujam kedalam jantung masuk dalam aliran darah bersama oksigen menerobos setiap syaraf dalam otak.bayangan wajahnya masih sangat lekat. wajah haru dalam tatapan mata yang nanar. tubuhnya, rambutnya, wajahnya, dan tatapan matanya mengingatkanku akan mereka yang berjalan di depan dan sampingku, nenekku di rumah dan yang telah almarhum, adiku yang sangat lucu, ibuku yang yang luar biasa. nenek setengah telanjang di altar depan kraton itu seperti memberi tamparan untuk tidak membiarkan orang-orang terdekat saya (kita) berada dalam situasi yang sama seperti nenek itu.

oleh :

Tanda Tanya

via : http://sosbud.kompasiana.com/